Menyuarakan Empati

Genap satu minggu sejak tragedi bom di tiga gereja di Surabaya. Salah satu gereja yang menjadi sasaran merupakan organisasi gereja tempat saya bernaung, Gereja Kristen Indonesia. Saya mengetahui berita pengeboman itu melalui akun twitter sahabat saya yang berada di Surabaya dan kebetulan orang tua saya yang berjemaat di GKI Jember sedang berada di salah satu GKI di Surabaya untuk pelayanan pujian bersama rekan-rekan paduan suaranya. Panik, saya langsung menghubungi orang tua dan sahabat saya. Papa menjawab kalem, “Kami baik-baik saja. Sedang ibadah di GKI Rungkut Asri.”

Sebagai seorang anak dengan orang tua yang secara kebetulan berada di Surabaya saat itu dan berada di komunitas gereja yang sama yang memiliki potensi lebih untuk diserang bom lanjutan tentu membuat saya kalut dan nggak tenang sama sekali. Polisi dan media baru menemukan tiga titik, siapa tahu ada serangan lanjutan dan bagaimana kalau di GKI lagi? GKI yang lain?

Lalu media sosial semakin liar. Semakin banyak berita hoax yang justru membuat hati semakin hancur meskipun tak sedikit pula yang menunjukkan dukungan mereka bagi Surabaya dan umat Kristiani. Sedikit terobati namun tak mengurangi rasa getir dan khawatir. Kok yo nduwe nyali golek goro nang Suroboyo?

Mereka bilang jangan diam. Mereka menggaungkan #KamiTidakTakut. Mereka menyatakan teroris menginginkan perpecahan dan menebar kecemasan. Bersuaralah, berempatilah, tunjukkan Indonesia tidak mudah dipecah belah. Namun nyatanya itu tidak mudah dilakukan oleh sebagian besar orang. Masih banyak yang diam saja. Masih banyak mereka yang beranggapan semua hanya rekayasa menutupi ketidakbecusan pemerintah menjaga kestabilan nilai tukar. Masih banyak dari mereka yang berkata, “Baru segitu. Apa kabar Palestina?” tanpa rasa empati. Dan makin banyak orang-orang yang memanfaatkan momen berdarah ini menjadi kesempatan untuk menyerukan ganti presiden di tahun 2019. Saya saja yang hanya kecipratan sedikit efek panik karena orang tua yang kebetulan sedang berada di Surabaya makin hancur mendengar dan membaca statement-statement negatif itu. Bagaimana mereka yang menjadi korban?

Nyatanya Indonesia krisis empati pun kemanusiaan hingga saya harus mencari-cari empati itu di setiap wajah yang saya temui, di setiap statement yang saya dengar dan baca. Seharusnya empati itu terpancar tanpa saya harus susah payah mencari.

Akhirnya saya mulai belajar. Dalam hal sekecil apapun, tidak menyenangkan sekalipun, sehancur apapun, bersuaralah. Jika sadar bahwa ada perasaan kasih(an) dan empati menyelinap dalam hati, belajarlah menyuarakan itu, sesulit apapun situasinya. Ada orang-orang yang butuh mendengar ungkapan empatimu. Ada mereka yang mencari-cari ketulusanmu di setiap guratan wajahmu. Jika ada orang-orang yang tidak tahu malu menyuarakan kebenciannya, lantas mengapa harus diam dan bersembunyi di sudut dan membunuh rasa empatimu?

Suarakan empatimu. Tunjukkan rasa kemanusiaanmu. Bunuh mereka dengan fakta bahwa kita tidak mudah dipecahbelah. Tunjukkan pada mereka bahwa hidup mereka selama ini adalah kesia-siaan.

#KamiTidakTakut

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑